Bukan Cinta Biasa (2)
Bukan Cinta Biasa (2)
By Abu Haidar at 22 Desember, 2009, 10:40 am
Cinta Mubah
Jenis cinta yang paling mulia adalah jenis cinta yang pertama, cinta karena Allah ‘Azza wa Jalla dan wajib kita miliki, sedangkan tiga jenis cinta yang lainnya adalah mubah. Kecuali apabila ketiga jenis cinta yang mubah ini dibarengi dengan hal-hal yang sifatnya ibadah, maka cinta jenis ini menjadi ibadah.
Seseorang yang mencintai orang tuanya dengan kecintaan pemuliaan atau penghormatan, apabila dibarengi dengan niat ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka kecintaannya bernilai ibadah. As-Sa’dy rahimahullah menyatakan bahwa apabila cinta yang mubah ini bisa membantu dan mendorong kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka berubah menjadi ibadah.
Namun apabila cinta yang mubah ini bisa menghalangi ketaatan dan kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bahkan bisa menyeret kepada apa-apa yang tidak dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka cinta yang seperti ini berubah menjadi cinta yang terlarang. Tapi kalau tidak berpengaruh apa-apa dalam arti tidak menambah kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak mengurangi ketaatan kepada-Nya maka tetaplah dia dalam kemubahannya. (al-Qaul as-Sadid hal 90-97).
Cinta Naluri
Demikian pula cinta thabi’i (naluri) seperti mencintai makanan, minuman, dan seterusnya, apabila diniatkan untuk mendukung ibadah maka cinta inipun menjadi ibadah. Oleh karena itu Nabi diberikan rasa cinta kepada wanita dan minyak wangi dengan cinta naluri (HR. Ahmad dan an-Nasa’i dengan sanad yang hasan), tetapi diperlakukan dengan perlakuan yang sesuai dengan syari’at sehingga memberi maslahat yang besar bagi pribadi, ibadah, dan dakwah perjuangannya, maka kecintaan naluri ini bernilai ibadah.
Nabi pernah menyatakan bahwa orang yang menyantuni janda dan orang miskin seperti mujahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan beliaupun mengatakan orang yang seperti itu bagaikan orang yang shalat dan tak pernah berhenti atau seperti orang yang shaum dan tak pernah berbuka. (Muttafaq ‘alaih).
Bahkan orang yang menyantuni anak yatim akan memperoleh pahala dan bernilai ibadah karena mengamalkan perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Rasul bersabda, “Aku dan orang-orang yang menjamin anak yatim akan berada di dalam surga seperti ini.” Lalu beliau berisyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Bukhari).
Walhasil, cinta yang mubah bisa berubah menjadi cinta ibadah apabila diniatkan untuk ibadah dan dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan syari’at. Hal ini berbeda dengan orang yang memiliki cinta yang mubah tetapi tidak diniatkan untuk ibadah. Seperti orang yang menyantuni anak yatim hanya karena riya, atau dorongan jiwa social atau hanya melaksanakan tugas sebagai pegawai panti social atau hanya dorongan kemanusiaan semata. Semua itu mubah dan tidak bernilai ibadah.
Nabi bersabda, “Amal itu bergantung kepada niat, dan setiap orang hanya akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari).
By Abu Haidar at 22 Desember, 2009, 10:40 am
Cinta Mubah
Jenis cinta yang paling mulia adalah jenis cinta yang pertama, cinta karena Allah ‘Azza wa Jalla dan wajib kita miliki, sedangkan tiga jenis cinta yang lainnya adalah mubah. Kecuali apabila ketiga jenis cinta yang mubah ini dibarengi dengan hal-hal yang sifatnya ibadah, maka cinta jenis ini menjadi ibadah.
Seseorang yang mencintai orang tuanya dengan kecintaan pemuliaan atau penghormatan, apabila dibarengi dengan niat ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka kecintaannya bernilai ibadah. As-Sa’dy rahimahullah menyatakan bahwa apabila cinta yang mubah ini bisa membantu dan mendorong kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka berubah menjadi ibadah.
Namun apabila cinta yang mubah ini bisa menghalangi ketaatan dan kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bahkan bisa menyeret kepada apa-apa yang tidak dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka cinta yang seperti ini berubah menjadi cinta yang terlarang. Tapi kalau tidak berpengaruh apa-apa dalam arti tidak menambah kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak mengurangi ketaatan kepada-Nya maka tetaplah dia dalam kemubahannya. (al-Qaul as-Sadid hal 90-97).
Cinta Naluri
Demikian pula cinta thabi’i (naluri) seperti mencintai makanan, minuman, dan seterusnya, apabila diniatkan untuk mendukung ibadah maka cinta inipun menjadi ibadah. Oleh karena itu Nabi diberikan rasa cinta kepada wanita dan minyak wangi dengan cinta naluri (HR. Ahmad dan an-Nasa’i dengan sanad yang hasan), tetapi diperlakukan dengan perlakuan yang sesuai dengan syari’at sehingga memberi maslahat yang besar bagi pribadi, ibadah, dan dakwah perjuangannya, maka kecintaan naluri ini bernilai ibadah.
Nabi pernah menyatakan bahwa orang yang menyantuni janda dan orang miskin seperti mujahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan beliaupun mengatakan orang yang seperti itu bagaikan orang yang shalat dan tak pernah berhenti atau seperti orang yang shaum dan tak pernah berbuka. (Muttafaq ‘alaih).
Bahkan orang yang menyantuni anak yatim akan memperoleh pahala dan bernilai ibadah karena mengamalkan perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Rasul bersabda, “Aku dan orang-orang yang menjamin anak yatim akan berada di dalam surga seperti ini.” Lalu beliau berisyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Bukhari).
Walhasil, cinta yang mubah bisa berubah menjadi cinta ibadah apabila diniatkan untuk ibadah dan dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan syari’at. Hal ini berbeda dengan orang yang memiliki cinta yang mubah tetapi tidak diniatkan untuk ibadah. Seperti orang yang menyantuni anak yatim hanya karena riya, atau dorongan jiwa social atau hanya melaksanakan tugas sebagai pegawai panti social atau hanya dorongan kemanusiaan semata. Semua itu mubah dan tidak bernilai ibadah.
Nabi bersabda, “Amal itu bergantung kepada niat, dan setiap orang hanya akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari).
Comments
Post a Comment